Kamis, 29 Mei 2008

Kuburan Kemanggisan


Di Kemanggisan, Jakarta Barat, ada kuburan yang tidak terlalu luas. Mungkin hanya seluas lima hektar. Oleh penduduk setempat disebut kober Tapi, ini adalah satu-satunya kuburan yang ada di sana. Kuburan ini berada dekat dengan pemukiman warga. Bahkan, bila malam hari banyak warga yang bermain di tengah kuburan, bercengkerama. Bila pagi hari, para lansia tampak berolah raga di sana.
Entah berapa ribu orang yang sudah dimakamkan di sana. Namun banyak kisah yang menyertainya. Usia kuburan ini pun tidak ada yang bisa memastikan. Ada seorang penduduk bercerita bahwa kuburan ini sudah ada sejak tahun 1960-an. Dia mengaku datang pertama ke Jakarta di akhir tahun 1950-an.
Tapi menurut mertua saya, Haji Hanafi, yang usainya kini mencapai 87 tahun, kuburan itu sudah ada sejak tahun 1935. Alasan ini cukup masuk akal. Sebab ketika itu usai mertua saya sudah belasan tahun, jadi sudah bisa mengingat peristiwa yang terjadi masa itu.
Dia bercerita, ketika itu orang Kemanggisan yang rata-rata orang Betawi, terbiasa mengubur orang di halaman rumah. Kebiasaan ini bisa terjadi karena tanah masih luas, itu pertama. Kedua, masyarakat Bewati yang rata-rata memeluk Islam memiliki keyakinan bahwa kuburan keluarga di halaman rumah itu akan mengingatkan mereka pada kematian, selain alasan yang cukup praktis: kalau ziarah kubur kagak jauh-jauh, dah.
Tapi, ayah dari mertua saya, namanya Haji Junaidi, memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang Betawi kebanyakan kala itu. Dia justeru tidak setuju dengan kebiasaan mengubur di halaman rumah. Alasannnya, bila nanti ada anak cucu yang mau bangun rumah, akan merepotkan sebab terhalang oleh kuburan yang ada di halaman itu.
Singkat cerita, kuburan Kemanggisan yang dulu hanya berupa tanah lapang berdiri sudah. Tidak ada catatan siapa mayat pertama yang dikubur di sana. Tapi Haji Junaidi, yang namanya kemudian dijadikan nama jalan di Kemanggisan, pun dikubur di sana. Beliau meninggal pertengahan tahun 1970, dalam usia lebih dari 80 tahun.
Di sana juga dimakamkan bayi berkepala dua (Dicephalus parapagus twins) Syafitri, yang lahir di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat pada 2006 silam.
Bila siang, terik matahari terasa sangat menusuk. Sebab, beberapa pohon besar yang dulu menaungi banyak yang mati, atau tumbang. Di musim kemarau, banyak anak-anak yang main layangan. Tepat di depan pintu masuk kuburan, jalanan sempit dan sering jadi sumber kemacetan, terutama mereka yang dari atau menuju ke arah Slipi.
Namun demikian, bila ada warga di Kemanggisan atau Palmerah meninggal, mereka tetap memakamkan di sana. meski sudah banyak keluhan dari warga sendiri, soal padatnya pemakaman tersebut. Misalnya, kedalaman lubang kubur yang sebaiknya dua meter hanya tinggal satu setengah meter saja. Sebab kalau terlalu dalam bisa urug, tanah dari kuburan sebelah bisa longsor. Makanya, setiap pemakaman di sana sudah saling berhimpitan.
Di bagian depan, komplek A1, sudah ada penataan yaitu dengan menyeragamkan nisan. Nisan berwarna putih yang hanya ada di bagian kepala saja, ditambah rumput hijau yang lumayan indah kalau dipandang. Tapi, tidak semua sreg dengan cara semecam ini. Pasalnya, setiap nisan yang dipasang, kata sebagian warga, tidak pas di bagian kepala. Ada yang di perut, malahan ada yang sudah masuk ke kuburan orang. "Jadi, kalau berdoa, yang kita doakan ternyata kuburan orang," kata seorang warga. Nah, ribetnya mengurus kuburan di Jakarta.

Tidak ada komentar: