Senin, 24 November 2008

Kuburan Depan Rumah

Di Jakarta, masih banyak bertebaran kuburan di depan rumah. Biasanya kuburan-kuburan lama saat kota ini masih belum padat oleh penduduk. Ada beberapa alasan mengapa penduduk Jakarta (suku Betawi) mengubur anggota keluarga di halaman atau belakang rumah.

Pertama, anggota keluarga yang dikasihi (anak atau orang tua) sengaja di kubur agar tak jauh bila diziarahi. Ziarah kubur menjadi tradisi yang tidak boleh dilewatkan oleh orang Betawi, terutama pada hari-hari tertentu seperti menjelang puasa dan lebaran.

Kedua, kuburan orang yang dicintai akan mengingatkan anggota keluarga lain akan kematian. Makanya, dikubur di halaman rumah agar setiap pagi ketika jendala atau pintu dibuka menyambut hangatnya mentarai, mereka pun akan dihadapkan pada pemandangan "alam akhirat" lewat seonggok tanah kuburan dan batu nisan.

Namun, dalam perkembangan kota, kebiasaan ini sudah mulai ditinggalkan. Alasannya pun cukup masuk akal. Tanah di Jakarta makin sempit, jadi bila ditambah dengan kuburan, maka tak ada ruang lagi buat orang hidup. Banyak kejadian, satu keluarga tidak bisa memperlebar rumahnya karena terhalang oleh kuburan.

Salah seorang tetangga yang menguburkan keluarganya di halaman rumah masih saya lihat empat tahun lalu, ketika Cang Jibun, demikian panggilannya meninggal dalam usia 80 tahuanan. Oleh anak-anaknya sang ibu dimakamkan di tanah keluarga, depan rumah, yang juga bersebelahan dengan tempat kost anak-anak kampus Binus di Kemanggisan.

Almarhum KH Junaidi, seorang ulama Kemanggisan, yang namanya diabadikana nama jalan di sana, jauh sebelum kemerdekaan atau jauh sebelum kota Jakarta menjadi metropolitan sudah menyatakana ketidaksetujuan dengan tradisi mengubur di halaman rumah dengan alasan tanah itu akan berguna bagi orang hidup. Dan orang mati selayaknya di makamkan di pekuburan. Usul itu terbukti sekarang.

Senin, 21 Juli 2008

Dinding Penutup Mayat

Ada sebuah benda yang wajib dipakai dalam prosesi penguburan mayat, terutama untuk ajaran Islam, yakni bilahan kayu penutup mayat dalam kubur. Kayu-kayu yang dipotong dengan ukuran rata-rata 75 sentimeter itu, berfungsi untuk menjaga tubuh mayat agar nempel pada tanah. tetap dalam liang lahad. Mayat yang dikubur biasanya pada posisi miring menghadap ke tanah yang sudah diberi galian, seperti gua. Itulah liang lahad. Nah, menurut sebagian orang, kayu itu berguna agar posisi mayat tetap miring di liang lahad. Ada juga yang mengatakan, bila tanah kubur semakin ke bawah atau terjadi urug, maka posisi mayat cukup aman sebab berada di dalam "gua liang lahad" tadi.

Di beberapa daerah, liang lahad itu tidak di sisi, tapi di tengah. Jadi, mayat hanya tinggal dimasukkan ke dalamnya, tanpa repot memiringkannya lagi. Namun, tetap menggunakan kayu penutup. Apa bahasa Indonesia untuk bilahan kayu itu? Saya sendiri tidak tahu. Tapi orang Betawi biasa menyebutnya "dinding ari". Orang Sunda bilang "padung" dan orang Jawa menyebutnya "blabag".

Dulu, orang membuat dinding penutup mayat dengan menggunakan bambu. Bambu dipecah sehingga menjadi melebar. Pernah ada cerita, karena bambu-bambu yang digunakan itu masih mengandung tunas, yang biasanya tampak pada buku bambu, maka setelah bertahun-tahun akan muncul bakal pohon bambu. Maka tidak heran bila dalam satu kuburan terdapat pohon bambu. Pohon bambu yang tumbuh itu boleh jadi berasal dari dinding penutup mayat. Makanya, menurut sebagian orang, bila pergi ke suatu tempat yang banyak pohon bambunya, jangan sembarangan duduk di bawahnya. Sebab bisa jadi tempat yang kita duduki itu adalah kuburan.

Dan bila suatu kali kita pergi ke kuburan menemukan bilahan bambu yang sudah pecah atau kotor oleh tanah, ada kemungkinan itu adalah bilahan bambu yang sudah tidak terpakai. Mungkin, itu berasal dari kuburan yang digali oleh beberapa sebab. Bisa karena kuburannya dipindahkan atau ada lebih dari satu mayat dalam satu lubang sehingga dinding penutup mayat yang lama harus dibongkar lagi.

Senin, 09 Juni 2008

Mayat Awet dalam Kubur

Sinetron kita sempat diguyur tayangan, yang disebut sinetron religi. Isinya, salah satunya, tentang mayat yang awet. Sering disebut mayat tersebut adalah makam orang suci, sehingga tubuhnya tidak hancur meski sudah dikubur bertahun-tahun. Ada lagi kisah tentang mayat yang diketahui tubuhnya hangus terbakar seperti habis kena setrika.

Di Palembang, Sumatera Selatan, seperti disebutkan dalam detik.com, ada mayat wanita bernama seger, masih tetap utuh meski sudah dikubur bertahun-tahun. Menurut cerita penduduk, Seger orangnya baik. Orang kemudian percaya dan selalu mengaitkan makam dengan hal-hal yang di luar akal sehat.

Padahal menurut para ahli, tubuh yang tidak hancur salah satunya karena tanahnya cukup subur dengan kelembaban yang bisa membuat jasad awet. Hal itu saya ketahui ketika membaca pembunuhan perempuan asal Taiwan, Aisah Susan, yang mati di tangan pembantunya. Tapi otak dari pembunuhan keji ini sang suami korban, Hermanto dengan motif ekonomi. Tubuh Aisah yang sudah terpendam lebih dari setahun masih tampak utuh hanya membengkak. Menurut ahli forensik dokter Mun' in Idries, hal itu dimungkinkan karena jasad Aisah berada dalam tanah yang subur dan suhu yang lembab.

Celakanya, sebagai bangsa kita sering termakan sinetron berbau mistik dengan dibungkus agama, terutama Islam. Mayat dalam kubur kemudian dikait-kaitkan dengan kejadian aneh-aneh. Hal ini bisa merebak di sebuah masyarakat, justeru pada saat terlilit persoalan hidup yang makin berat. Masyarakat yang frustrasi dengan kehidupan akan dengan mudah terjebak pada isu dan tayangan penuh nilai mistik. Dia mudah percaya pada mayat, pada orang mati. Karena orang hidup tak lagi bisa dipercaya?

Jumat, 30 Mei 2008

Burung Pembawa Kabar Kematian

"Bila kamu menyembelihnya, akan kamu temukan kapas dalam tubuh burung itu," demikian sahabat yang sudah saya lupa namanya menjelaskan ikhwal burung pemberi kabar kematian. Burung dengan suara khas yang bisa membuat badan merinding itu, bersuara seperti memanggil arwah: Cuit...cuit...cuit cuccuiiit..." Atau ada juga yang mendengarnya dengan bunyi lain: Tiirr...tiirr..tiiiir... Namun yang pasti, suara pertama akan meninggi tapi kemudian melemah.

Kono, bila suara burung itu terdengar di sore hari, terlebih saat hari gerimis, maka seseorang akan meninggal dunia. Di sebuah kampung yang sedang terserang wabah penyakit, suara burung ini menandakan bahwa malaikat maut sudah berada di sisi orang sakit.

Oleh orang Jawa burung ini disebut Wiwik, atau dalam bahasa Latin disebut Cacomantis merulinus. Orang Sunda menyebutnya manuk Siut Uncuing. Masyarakat di pedesaan yang mendengar suara burung ini, akan segera membaca istighfar. Namun di kota-kota besar suara burung ini sudah jarang kita dengar.

Tapi menurut para ahli burung, suara burung si pembawa kematian itu tidak terlalu dikhawatirk an. Sebab burung ini akan berdendang sesuai dengan suara hatinya: bila hari sedang mendung terlebih saat musim hujan maka suaranya akan ngelangut, persis yang sering kita dengar dalam mitos burung pembawa kabar kematian. Namun saat musim kemarau, suaranya akan terdengar lebih riang, sehingga membuat orang yang mendengarnya jadi ikut girang.

Sayangnya, suara burung itu jarang kita dengar lagi. Saat melintas di beberapa pekuburan di Jakarta di saat senja menjelang malam pun, telinga saya sudah tidak mendengarnya lagi. Kemanakah burung itu?

Bila mendengarnya saya selalu teringat pada pesan kawan masa kecil: "Jangan menangkapnya, dia berkawan dengan hantu," katanya.

Kamis, 29 Mei 2008

Di Makam Sunan Giri


Empat kilo meter dari alun-alun kota Gresik, Jawa Timur, tepatnya di Desa Giri, Kecamatan Kebomas sebuah tanda menunjuk arah: Makam Sunan Giri.
Giri adalah bahasa lain untuk gunung. Sebab, ulama yang punya beberapa nama ini, mendirikan pesantren di sebuah bukit yang kemudian dikenal dengan Sunan Giri. Beberapa nam yang dia punya adalah: Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Fatah, Raden Ainul Yakin dan Joko Samudra. Nama terakhir ini didapat sebab saat bayi, sunan dibuang oleh ibunya Ratu Sekardadu, putri Blambangan (Majapahit akhir) ke luat karena dipercaya membawa kutukan.
Oleh sekelompok nelayan sunan yang masih orok ditemukan, dan kemudian dirawat oleh pemilik kapal Nyi Gede Pinatih. Gresik memang dekat dengan laut. Dari sebuah musola, yang ada di kompleks makam, terlihat Pulau Madura dan juga pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Untuk mencapai kompleks makam Sunan Giri, harus meniti anak tangga yang cukup banyak. Di sisi kanan akan berjejer para penjual makanan dan souvenir sedangkan di sisi kiri para pengemis menadahkan tangan meminta belas kasihan, dari anak-anak hingga orang tua.
Makam Sunan giri berada pada sebuah lokasi yang dipagari oleh dinding kayu berhias kembang. Untuk memasukinya, diharapkan daftar terlebih dahulu kepada seorang penjaga makam yang duduk di sana lengkap dengan nampan tempat menampung derma dari para peziarah. Untuk masuk ke dalam makam Sunan Giri, perlu membungkukan badan sebab pintunya kecil, dengan kapasitas paling banyak 20 orang.
Dalam kompleks makam, juga terdapat kuburan anak-anak Sunan Giri seperti Raden Dalem dan Sunan Panepen. Rata-rata makam bercungkup tinggi dengan dominasi warna putih bersih.
Ada sederet peraturan untuk masuk ke kompleks makam yang tertera di sana, antara lain: harus membuka alas kaki dan tidak boleh memotret.
Karena letaknya yang berada di datarang tinggi, udara lumayan segar dengan hembusan semilir angin. Tak jauh dari kompleks makam, ada sebuah lorong tempat orang berjualan. Di sana dijual peralatan sholat, seperti songkok, tasbih, perhiasan, sampai batik yang sudah ditulisi bacaan "Sunan Giri Gresik".
Di pelataran parkir, beberapa penarik ojek dan delman sudah siap menunggu. Hari-hari biasa tampak sepi. Tapi bila bertepatan dengan selawean atau tanggal 25 puasa, ramai oleh para peziarah yang membuat pedagang tumpah ruah di sana menjajakan dagangannya. Salah satunya adalah lukisan kurung. Ini adalah lukisan khas Gresik karyaalmarhumah Masmundari. Sayang, ketika saya tanya, di mana rumah Masmundari, tak banyak orang yang tahu. Bahkan tidak banyak juga yang tahu lukisan kurung itu seperti apa. Padahal, perempuan itu pernah membawa harum nama Gresik dengan karya-karyanya. Dia juga pernah diberi anugerah seni oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Di Jakarta, namanya cukup dikenal karena memamerkan karya yang tidak lazim pada sebuah kerta. Umumnya, tentang keseharian, imajinasi dan ingatan masa lalu sang pelukis. Mirip lukisan anak-anak tapi sangat impresif.

Kuburan Kemanggisan


Di Kemanggisan, Jakarta Barat, ada kuburan yang tidak terlalu luas. Mungkin hanya seluas lima hektar. Oleh penduduk setempat disebut kober Tapi, ini adalah satu-satunya kuburan yang ada di sana. Kuburan ini berada dekat dengan pemukiman warga. Bahkan, bila malam hari banyak warga yang bermain di tengah kuburan, bercengkerama. Bila pagi hari, para lansia tampak berolah raga di sana.
Entah berapa ribu orang yang sudah dimakamkan di sana. Namun banyak kisah yang menyertainya. Usia kuburan ini pun tidak ada yang bisa memastikan. Ada seorang penduduk bercerita bahwa kuburan ini sudah ada sejak tahun 1960-an. Dia mengaku datang pertama ke Jakarta di akhir tahun 1950-an.
Tapi menurut mertua saya, Haji Hanafi, yang usainya kini mencapai 87 tahun, kuburan itu sudah ada sejak tahun 1935. Alasan ini cukup masuk akal. Sebab ketika itu usai mertua saya sudah belasan tahun, jadi sudah bisa mengingat peristiwa yang terjadi masa itu.
Dia bercerita, ketika itu orang Kemanggisan yang rata-rata orang Betawi, terbiasa mengubur orang di halaman rumah. Kebiasaan ini bisa terjadi karena tanah masih luas, itu pertama. Kedua, masyarakat Bewati yang rata-rata memeluk Islam memiliki keyakinan bahwa kuburan keluarga di halaman rumah itu akan mengingatkan mereka pada kematian, selain alasan yang cukup praktis: kalau ziarah kubur kagak jauh-jauh, dah.
Tapi, ayah dari mertua saya, namanya Haji Junaidi, memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang Betawi kebanyakan kala itu. Dia justeru tidak setuju dengan kebiasaan mengubur di halaman rumah. Alasannnya, bila nanti ada anak cucu yang mau bangun rumah, akan merepotkan sebab terhalang oleh kuburan yang ada di halaman itu.
Singkat cerita, kuburan Kemanggisan yang dulu hanya berupa tanah lapang berdiri sudah. Tidak ada catatan siapa mayat pertama yang dikubur di sana. Tapi Haji Junaidi, yang namanya kemudian dijadikan nama jalan di Kemanggisan, pun dikubur di sana. Beliau meninggal pertengahan tahun 1970, dalam usia lebih dari 80 tahun.
Di sana juga dimakamkan bayi berkepala dua (Dicephalus parapagus twins) Syafitri, yang lahir di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat pada 2006 silam.
Bila siang, terik matahari terasa sangat menusuk. Sebab, beberapa pohon besar yang dulu menaungi banyak yang mati, atau tumbang. Di musim kemarau, banyak anak-anak yang main layangan. Tepat di depan pintu masuk kuburan, jalanan sempit dan sering jadi sumber kemacetan, terutama mereka yang dari atau menuju ke arah Slipi.
Namun demikian, bila ada warga di Kemanggisan atau Palmerah meninggal, mereka tetap memakamkan di sana. meski sudah banyak keluhan dari warga sendiri, soal padatnya pemakaman tersebut. Misalnya, kedalaman lubang kubur yang sebaiknya dua meter hanya tinggal satu setengah meter saja. Sebab kalau terlalu dalam bisa urug, tanah dari kuburan sebelah bisa longsor. Makanya, setiap pemakaman di sana sudah saling berhimpitan.
Di bagian depan, komplek A1, sudah ada penataan yaitu dengan menyeragamkan nisan. Nisan berwarna putih yang hanya ada di bagian kepala saja, ditambah rumput hijau yang lumayan indah kalau dipandang. Tapi, tidak semua sreg dengan cara semecam ini. Pasalnya, setiap nisan yang dipasang, kata sebagian warga, tidak pas di bagian kepala. Ada yang di perut, malahan ada yang sudah masuk ke kuburan orang. "Jadi, kalau berdoa, yang kita doakan ternyata kuburan orang," kata seorang warga. Nah, ribetnya mengurus kuburan di Jakarta.

Rabu, 28 Mei 2008

Burung Hantu

Burung ini, tak seangker namanya. Bahkan ada lagu anak-anak berjudul Burung Hantu terdengar lucu dengan nada yang riang. Siapapun yang menyanyikannya tidak akan merinding bulu kuduk. Begini liriknya:

Matahari terbenam
Hari mulai malam
terdengar burung hantu
suaranya merdu

Kukuk...kukuk...kukuk.. kukuk

Burung ini menjadi agak seram, mungkin karena aktivitasnya di malam hari alias nokturnal. Di jagat ini ada 222 spesies burung hantu yang tersebar di seluruh dunia, kecuali Antartika. Bentuk wajahnya memang lain dari burung pada umumnya: Bulat dengan dua mata menatap ke depan seperti manusia. Di beberapa negara barat, burung ini bahkan lambang kebijaksanaan.

Di Jawa disebut deres, yang tak ada kaitannya dengan hantu. Orang Sunda menyebutnya buek, juga tidak berkonotasi pada sesuatu yang menyeramkan. Orang Betawi sering menyebutnya burung celepuk. Burung ini punya kebiasaan berburu di malam hari, dengan makanan favorite tikus, serangga atau kodok.

Waktu kecil, ayah saya sempat menemukan burung ini di jalanan ketika dia akan pergi ke pasar. Burung itu ditangkapnya dan dibawa ke rumah untuk dipelihara. Warnanya bulunya cokelat dengan cakar yang tajam.

Kini, burung hantu tidak mudah lagi ditemukan di jalanan. Dia mungkin sudah menjadi makhluk langka. Bahkan anak-anak kecil di kota yang menyanyikannya tidak bakal bisa membayangkan seperti apa rupa burung hantu itu.

Anehnya, burung ini sangat jarang muncul dalam film-film horor. Dan juga jarang ditulis dalam cerita-cerita seram. Padahal namanya burung hantu.

Harold and Maude

Harold and Maude adalah film karya Hal Asbhy. Sutradara asal Amerika serikat ini kurang begitu dikenal di sini, di negaranya pun demikian. Namun, secara sinematografis film-filmnya bagus. Salah satunya adalah Harold and Maude. Film ini berkisah tentang anak muda dari keluarga kayabernama Harold, yang tidak punya teman. Dia punya kebiasaan yang tidak lazim, yakni suka sekali mendatangi kuburan dan acara-acara penguburan. Meski yang dikuburkan dia tak kenal.

Kebiasaan lainnya adalah terbiasa menakuti orang dengan cara bunuh diri. Bukan bunuh diri betulan, hanya main-main namun benar-benar seperti kejadian sebenarnya. Misalnya, dia bisa mengambang di kolam renang seperti orang tenggelam. Pernah juga melumuri lehernya dengan cat merah seperti orang yang habis digorok.

Selain kuburan, tempat yang biasa dikunjungi oleh Harold adalah tempat-tempat penghancuran gedung yang sudah tidak terpakai. Dia bisa menikmatinya hingga duduk berlama-lama sambil membawa makanan, persis seperti orang sedang pakansi.

Hingga suatu ketika Harold berkenalan dengan seorang nenek berusia 79 tahun, di sebuah gereja, menjelang acara pemakaman seseorang. Maude nama nenek itu. Sang nenek yang tampak energik itu punya kesamaan hobi dengan Harold yakni datang ke kuburan. Perkenalan tidak biasa itu, lambat laun membuat Harold jatuh cinta pada Maude. Mereka menikah, tepat di ulang tahun Maude yang ke-80. Sayangnya, setelah menikah, Maude masuk rumah sakit dan meninggal dunia.

Sosok Harold dan Maude memang unik. Keduanya punya kebiasaan mendatangi kuburan. Film ini, sebenarnya mengingatkan saya pada hadits Nabi yang menghimbau umatnya sering-sering ingat pada kematian bila lewat kuburan.