Jumat, 31 Juli 2009

Kampung Wowo

Saat berkunjung ke Manado, beberapa tempat saya kunjungi. Selain Taman Laut Bunaken, saya pun berangkat ke Kabupaten Minahasa Selatan dan dan Danau Tondano. Selama perjalanan dari Kota Manado ke Minahasa Selatan, di pinggir jalan saya sering menjumpai komplek pemakaman dengan berbagai aneka arsitektur menawan. Demikian pula saat menuju Bitung, bahkan tempatnya sangat bagus, berada di kaki bukit tak jauh dari bibir pantai yang berangin kencang.

Sahabat saya, seorang perwira polisi yang berasal dari Sangihe, mengatakan, komplek pekuburan di Minahasa disebut "Kampung Wowo" alias kampung bisu. Dia menjelaskan mengapa hal itu disebut demikian. "Sebab, komplek pemakaman tak jauh beda dari sebuah perkampungan. Hanya saja tak ada orang bercakap-cakap," jelasnya. Memang, saya amat-amati, komplek pemakaman itu terasa sepi dan jauh dari hiruk pikuk.

Di Jakarta, komplek pemakaman agak berbeda. Jauh dari kesan angker dan juga sunyi. Tak jauh dari tempat tinggal saya di Kemanggisan, terletak komplek pemakama tua. Di sana, setiap pagi ada orang berolah raga, seperti jalan kaki. Bila malam tiba, suasana pun cukup ramai. Bukan saja oleh orang berjualan tapi juga berpacaran. Beberapa rumah penduduk, bahkan terletak bersebelahan dengan kuburan.

Orang-orang yang lalu lalang, tampaknya tidak terbersit dalam pikirannya untuk merasa takut. Toh cahaya lampu cukup benderang. Dan orang ramai bergerombol di sana. Saya pun sering pulang malam melewati komplek pemakaman itu.

Sebutan "Kampung Bisu" bagi masyarakat Minahasa untuk komplek pemakaman cukup tepat. Di sana terbersit suasana tempat peristirahatan terakhir yang nyaman. Tapi di Jakarta, menyebut tempat peristirahatan terakhir untuk komplek pemakaman, tampaknya kurang cocok. Selain suasananya gaduh, terkadang para penghuni kubur yang tidak bernyawa itu harus rela "tempat istirahat terakhirnya" dibongkar paksa untuk dijadikan perkantoran atau komplek pertokoan.

Tidak ada komentar: