Selasa, 07 Juli 2009

Bila Kuburan Telah Penuh

Bekas Gubernur Jakarta ke 7 Ali Sadikin, wafat 20 Mei 2008 silam. Sesuai pesan almarhum, jasadnya dikubur satu lubang bersama sang isteri Nani Ali Sadikin, yang sudah pergi ke alam baka lebih dulu, 1986. Lelaki kelahiran Sumedang, Jawa Barat, yang dikenal keras kepala ini dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Semasa menjabat sebagai gubernur, Bang Ali, demikian sapaan mantan perwira angkatan laut ini, dikenal sering melontarkan gagasan yang kontroversial. Termasuk soal pemakaman. Salah satunya, dialah yang meminta agar makam warga Jakarta ditumpuk saja untuk menghemat lahan kuburan yang makin sempit.

Ada pula gagasan yang terbilang berani, yakni membakar mayat. Tapi, gagasan ini kontan memicu reaksi. Bagaimana Bang Ali menghimpun gagasan dari warga Jakarta soal pemakaman?

Mertua saya, almarhum Haji Hanafi, pernah bercerita. Pada 1972, seluruh kepala sekolah di Jakarta diminta hadir di balai kota Jakarta. Mereka bertemu langsung dengan Bang Ali. Sambil bersungut-sungut, Pak Gubernur Ali bilang, "Saya capek ngurus orang Jakarta. Dari mulai lahir, sekolah, pekerjaan sampai matinya, saya urusin," ujarnya. Maksudnya, dari mulai akte kelahiran, sekolah hingga lapangan pekerjaan bahkan lahan pekuburan harus dia siapkan.

Nah, soal pemakaman itu, tampaknya Bang Ali mulai kewalahan. Karena itu dia minta saran dari para kepala sekolah bagaimana sebaiknya cara memperlakukan mayat agar lahan di Jakarta yang sempit tidak terus berkurang karena lahan kuburan. Para kepala sekolah diminta menuliskan gagasannya dalam bentuk makalah yang harus segera dikumpulkan dalam tempo beberapa hari.

Di hari yang sudah ditentukan, seluruh makalah dikumpulkan. Hasilnya adalah sejumlah gagasan, antara lain, ada yang menyarankan agar mayat yang dikuburkan dalam posisi berdiri. Jadi bukan dalam posisi berbaring seperti yang dikenal sekarang, yang membutuhkan setidaknya ukuran 2 meter lahan. Dengan posisi berdiri maka jelas tidak membutuhkamn terlalu banyak lahan.

Ada pula yang mengusulkan agar mayat yang sudah dimasukkan ke dalam tanah kemudian diguyur oleh cairan pengurai bakteri. Ya, semacam cairan yang bisa langsung membuat mayat terus membusuk dan hancur dalam tempo cepat.

Usulan lain yang terbilang berani adalah membakarnya, seperti dalam tradisi ngaben di Bali atau kremasi orang Tionghoa Budha. Dengan kremasi atau membakar mayat, jelas tidak membutuhkan lahan. Paling-paling tersisa abu jenasah.

Nah, rupanya usulan yang terakhir ini sempat terdengar keluar. Sehingga rencana Bang Ali soal lahan kuburan banyak yang memprotes.

Bertahun-tahun kemudian, setelah Bang Ali wafat, kita mendapati lahan kuburan di Jakarta yang makin sempit. Tak ada yang bisa memecahkan persoalan ini, termasuk Pemda DKI sendiri. Pemda hanya membuat cara yang sangat klasik, yakni memperlakukan lahan kuburan sebagai rumah sewa atau kamar kos. Jadi, setiap tahun harus bayar uang sewa kuburan. Tarifnya sangat tergantung lahan dan tempat. Untuk kuburan yang dekat jalan lebih mahal. Dan ada juga tarif kuburan tumpuk, yakni dalam satu lubang terdapat lebih dari satu jasad. Ini termasuk murah.

Menumpuk jasad dalam satu lubang, salah satu cara mengurangi persoalan lahan. Tapi tak banyak yang sudi. Bang Ali, konsisten dengan sikapnya, dari sejak masih hidup sampai mati.

Tidak ada komentar: